Gunung Mandalawangi dan Keindahannya

Gunung Mandalawangi dan Pesona Tersembunyinya

APRIL 19, 2020 / KOMUNITASALEUT!

Dibandingkan Gunung Manglayang, Gunung Puntang, atau sederet nama gunung kondang lainnya, Gunung Mandalawangi tidaklah terlalu dikenal orang. Gunung yang menjulang di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut ini sebenarnya memiliki cerita-cerita yang jarang diketahui, utamanya terkait pesona magisnya. Setidaknya itu yang saya baca dari sumber-sumber di dunia maya.

Hari itu, 24 Oktober 2017 ahirnya saya berkesempatan menjejakkan kaki di tanah Mandalawangi. Pagi hari saya sudah tiba dan memarkir motor di rumah Ila di bilangan Tubagus Ismail. Ila adalah salah seorang teman dari komunitas berkebun. Di rumah ini kami dan beberapa rombongan berkumpul untuk sama-sama berangkat mengunjungi sebuah pesantren yang juga memiliki kebun sayuran. Saya hanya diberitahu bahwa kebun tersebut terletak di ujung timur Kabupaten Bandung, di kaki sebuah gunung.

Pukul 08.30, tibalah sejumlah anggota rombongan lainnya, para petani dari perkampungan di Batuloceng. Tujuan kunjungan ini adalah untuk mempelajari sistem pertanian di kebun pesantren yang akan kami datangi. Pesantren di kaki gunung itu menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan yang meminimalisasi penggunaan pupuk sintesis dan pestisida. Tommy dan Gunawan, pemuda petani warga asli Batuloceng ingin mempelajari dan menerapkan sistem itu di kampungnya. Turut menyertai mereka adalah Franco, warga Italia yang menjadi sukarelawan sebuah LSM internasional yang terlibat dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat Batuloceng.

Setelah beramah-tamah, kami pun segera berangkat menggunakan mobil yang dikemudikan oleh Ila. Sebetulnya selain kami, masih ada rombongan lain, tapi mereka berkumpul dan berangkat terpisah dari Ciwastra.

Baca juga: Gunung Padang Pesona Si Megalithikum Tanah Jawa

Setelah satu jam perjalanan, kami memasuki wilayah pergunungan dengan lahan-lahan perkebunan di sisi kiri dan kanan jalan. Lalu kami belok ke arah kampung dan belok lagi memasuki jalan tanah ke arah sebuah rumah kayu. Ternyata sudah ada beberapa mobil dan orang-orang yang baru turun dari mobil. Mereka adalah rombongan yang datang dari Ciwastra.

Iklanabout:blankLAPORKAN IKLAN INI

Pesantren dan Kebun Al-Musthafa adalah nama tempat yang kami datangi ini. Letak persisnya berada di Kampung Ciheuleut, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung. Kebun dan pesantren ini didirikan atas inisiatif H. Mochammad Soleh pada tahun 2015 di lahan wakaf yang awalnya dikelola dan digarap oleh Pesantren Al-Quran Babussalam, Bandung. Nama Al-Musthafa dipilih karena terilhami oleh dakwah Rasulullah yang menjadi rahmat bagi alam semesta.

Kami segera berkumpul di sebuah rumah panggung yang cukup besar. Tidak ada kursi atau bangku, jadi kami duduk di tikar yang dihamparkan di lantai. Pak Cecep, pengelola kebun, memperkenalkan diri dan menjelaskan seluk beluk kebun dan pesantren Al-Musthafa. Setelah perkenalan singkat, kami menggelar daun pisang untuk alas makan bersama. Nasi ditaburkan, dan lauk pauk pun disajikan. Tak lupa sayuran segar sebagai lalapan, dan sambal ulek yang menambah cita rasa.

Selanjutnya, rombongan turun dan berkeliling kebun yang ditanami berbagai jenis sayur mayur, seperti selada, bayam, kangkung, timun, dan lain sebaginya. Berbagai jenis pohon seperti pohon nangka, jambu, alpukat, dan kayu jabon berdiri tegak tersebar di area kebun. Pemandangan yang melingkupi kebun dan pesantren ini bisa dibilang memanjakan mata. Jajaran perbukitan menjulang tinggi seperti tembok kastil. Sebagian bukit tersebut telah dibabat dan menjadi kebun sayuran masyarakat. Meskipun demikian, masih ada bukit-bukit yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi. Pak Cecep menuturkan bahwa di sekitar hutan tersebut terdapat mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, tidak terkecuali untuk mengairi kebun Al-Musthafa.

Saya melirik bangunan di sekitar kebun Al-Musthafa. Terdapat sebuah rumah beton bercat hijau yang menjadi tempat tinggal penjaga kebun. Tak jauh dari situ terdapat sebuah rumah panggung yang dijadikan tempat menyimpan peralatan bertani. Di sebelahnya, berdiri kandang sapi yang dihuni oleh sekitar 15 ekor sapi ongole. Berbagai bedengan yang ditumbuhi selada, kangkung, bayam merah dan sayuran lainnya mewarnai halaman rumah panggung yang berwarna coklat kemerahan.

Baca juga: Naik-naik ke Puncak Gunung Geulis

Satu pertanyaan terbesit di benak saya. Ke mana para santri-santri yang harusnya mengaji di pesantren ini? Bahkan, bangunan yang awalnya difungsikan sebagai pesantren pun tampak kosong dan lengang. Saya coba tanyakan ke Pak Cecep. Beliau menjelaskan bahwa pesantren ini sudah mangkrak cukup lama.

“Wah, sudah lama gak dipake pesantren ya, Pak?”

“Iya Kang, di sini mah daerahnya angker. Pernah ada sejumlah santri yang kesurupan. Katanya sih, digangguin oleh penunggu di sini.”

“Aslina?”

“Muhun Kang. Malahan pernah ada uji nyali dari stasiun televisi swasta yang datang ke sini. Hasilnya, banyak yang kesurupan.”

Semakin tergelitik rasa penasaran saya, tertarik untuk mengorek lebih lanjut mengenai Kampung Ciheuleut. Beberapa kawan lain pun tergugah rasa kepo-nya. Tak ayal, kami pun segera menggelar saresehan dadakan di pelataran rumah panggung. Pak Cecep lalu menunjuk ke sebuah gunung yang menjulang tinggi di kisaran timur pesantren Al-Musthafa. Gunung Mandalawangi, itulah namanya. Ketika wilayah Bandung masih bernama Tatar Ukur, gunung ini menjadi pembatas wilayah antara Ukur Pasirpanjang dalam Ukur Sasanga. Tak terhitung pendekar, orang sakti, dan pertapa yang bersemedi mencari pencerahan dan kekuatan di sekeliling Gunung Mandalawangi. Bukan hanya itu saja, ada juga sebagain dari mereka yang dimakamkan di wilayah ini. Orang-orang yang dipercaya memiliki kekuatan sakti di luar nalar. “Makam-makam” ini menambah suasana keramat dan angker di Mandalawangi dan sekitarnya.

Pak Cecep lalu mengarahkan pandangannya ke sebuah bukit yang terletak sekitar 1 km dari tempat kami berkumpul. Di puncak bukit tersebut, terdapat sebuah lokasi keramat yang konon adalah makam seorang tokoh adat. Pak Cecep mendengarnya dari penuturan tetua masyarakat sekitar. Rasa penasaran saya pun semakin membuncah, mendorong minat saya untuk berkunjung langsung ke tempat yang dimaksud. Tentu saja, setelah semua rangkaian acara tur kebun ini selesai, yang diakhiri dengan panen bersama dan perpisahan.

Baca juga: Arca-arca yang Hilang di Gunung Wayang

Pukul 15.00 sore, mayoritas rombongan sudah beranjak untuk kembali menuju rumah masing-masing. Hanya sebagian kecil saja yang masih tinggal untuk berbincang-bincang lebih lanjut. Kesempatan ini tak saya siakan-siakan. Setelah berpamitan ke Pak Cecep, saya dan Gunawan melangkahkan kaki ke arah bukit keramat. Medan yang ditempuh lumayan menantang. Tidak hanya jalan yang menanjak, tetapi juga rerumputan rimbun dan semak-semak berduri. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke puncak bukit. Dan benar saja, di balik akar pohon dan semak belukar, sejumlah susunan batu mencelat keluar dari tanah. Tempat yang konon adalah makam seorang berilmu tinggi yang mendirikan kampung di tempat ini.

Lima belas menit kemudian, saya dan Gunawan pun kembali berkumpul di rumah penjaga kebun. Setelah menceritakan pengalaman kami kepada Pak Cecep, beliau menambahkan bahwa makam keramat di kisaran Ciheuleut sebenarnya cukup banyak. Salah satunya berada di puncak Gunung Mandalawangi. Sebuah makam keramat yang disebut Makam Nini Ranteng.

Menjelang senja, kami berpamitan kepada Pak Cecep dan pekerja lainnya untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Tubagus Ismail. Sebelum pulang, saya meluangkan waktu untuk memandang Gunung Mandalawangi, dan segala pemandangan di sekitarnya. Rasanya saya ingin kembali lagi nanti ke sini dan melihat lebih banyak.

“Mandalawangi, kau terlihat seperti bukit biasa dari kejauhan. Di balik itu, tersimpan rahasia-rahasia yang terkubur di dekapan tanah dan pepohonan.”

Baca artikel lainnya dari Aquinaldo Sistanto (@edosistanto) atau mengenai



Sumber : https://www.pesantrenalmusthafa.site/2022/05/24/gunung-mandalawangi-dan-keindahannya/

Whatsapp

0 Komentar